MALANG : Kasus covid-19 yang terus melonjak membuat tingkat okupansi hotel di Malang Raya terus menurun. Di hari ke-10 penerapan PPKM darurat, sejumlah hotel di Kota Batu dan Malang terpaksa tutup dan merumahkan ribuan pekerja. Hal itu demi mengurangi beban operasional dan kerugian lebih besar.
"Ada hotel yang menutup operasionalkan sementara satu dua. Daripada menanggung kerugian terus menerus, masuk tapi nggak ada yang dikerjakan, milih tutup sementara," kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (?PHRI) Kota Batu Sujud Hariadi, Selasa 13 Juli 2021.
Sujud menambahkan, beberapa hotel yang masih memaksa beroperasi di Kota Batu pun tak ada okupansi. Hal ini dirasakan sejak awal penerapan PPKM darurat. "Okupansi 0 persen. Jadi hanya satu dua hotel yang ada tamunya. Itu pun jarang, kebanyakan 0 persen tanpa tamu. Wajarlah, apalagi penyekatan di mana-mana," katanya.
BACA JUGA : Kasus Harian Covid-19 di Jatim Capai 6.269, Apa Penyebabnya?
Alhasil hampir ribuan karyawan perhotelan di Kota Batu terdampak imbas PPKM darurat. Para pekerja ini terpaksa di rumahkan demi efisiensi biaya operasional.
"Rata-rata merumahkan lebih dari setengah. Sementara itu, tapi kalau PPKM selesai, ya jalan lagi. Kami nyadari selama mereka sepakat dengan karyawan, karyawan juga menyadari ya nggak ada masalah. Sebagian besar menyadari. Ya gimana, posisinya kayak gini," katanya.
Hal serupa dialami pelaku perhotelan di Kota Malang. Namun di Malang sedikit lebih beruntung karena okupansi hotel masih berada maksimal di angka 10 persen. "Yang jelas okupansi kita kurang dari 10 persen, itu pun dengan dijual dengan harga yang murah, harga di bawah biasanya," kata Ketua PHRI Kota Malang Agoes Basoeki.
Okupansi 10 persen tersebut disumbang oleh para pekerja sektor kritikal dan esensial yang masih diizinkan beroperasi di tengah penerapan PPKM darurat. "Ada dari luar Malang, tapi untuk kerja. Dari Malang boleh masuk, tapi kami berlakukan harus bawa rapid antigen paling nggak," ujarnya.
Dia pun menaksir imbas rendahnya okupansi hotel di Malang, kerugian mencapai miliaran rupiah. Apalagi hal ini diperparah adanya pembatasan operasional restoran yang tidak boleh menerima dine in atau makan di tempat.
"Ini lebih parah daripada awal-awal kemarin (PSBB) karena restoran nggak bisa bergerak, nggak boleh melayani tamu, tamu nggak boleh masuk. Katakanlah misalnya satu hotel punya target Rp1 miliar, cuma tercapai 1 juta, 10 persen itu, semua hotel sama, jatuh sekali," katanya.
Dengan kondisi seperti sekarang, dia dan rekan-rekan pengusaha perhotelan tidak hanya merumahkan pekerja, tetapi juga terpaksa merogoh kocek tabungan yang sebelum-sebelumnya telah ada. "Rata-rata menggunakan sisa-sisa keuntungan tahun sebelumnya, dari celengan-celengan," ujarnya.
(ADI)