JOMBANG: Roda produksi sarung tenun tradisional di Jombang, Jawa Timur, hingga kini masih terus berputar. Meski hampir punah dan kalah bersaing dengan sarung cetakan pabrik, namun sarung tenun goyor justru mampu menembus pasar Timur Tengah.
Seperti terlihat di rumah usaha sarung tenun tradisional milik Sugeng Riyadi (50), warga asal Desa Plumbon Gambang, Kecamatan Gudo, Jombang ini. Di tengah gempuran teknologi saat ini, produksi sarung dengan mengunakan alat tenun bukan mesin (ATMB) masih mampu bertahan.
Untuk membuat sarung tenun goyor, perlu ada benang khusus yang ditenun menggunakan mesin tenun tradisional. Proses panjang menenun hingga menggulung kain, juga sangat membutuhkan keahlian khusus.
BACA: Mantab!, di Warung Ini Terdapat 105 Jenis Mie Instan yang Bisa Dinikmati
Dengan memperkerjakan ibu-ibu sekitar desa, Sugeng kini mampu membuat 50 biji sarung tenung siap jual dalam setiap pekan. Bahkan, seluruh hasil produksi Sugeng yang dibuat 25 karyawannya itu mampu tembus pasar Timur Tengah.
Menurut Sugeng, untuk bisa bertahan ia sempat memindahkan produksinya ke rumah masing-masing pekerja. Alasan pemindahan, lebih untuk menjaga protokol Kesehatan di tengah pandemi covid-19 dan efektivitas kerja.
Tantangan terberat yang saat ini dihadapi perajin justru bukan pandemi covid-19, melainkan peristiwa konflik Rusia-Ukraina. Bahan baku utama berupa benang yang harus didatangkan dari Cina kerap terlambat akibat imbas dari perang tersebut.
“Sarung saat pandemi ini tidak masalah, pasar masih bagus. Cuma kerena perang Rusia ini pecah, pasar agak seret uangnya. Ini Pasar Timur Tengah soalnya. Bahan baku ya, bahan baku dari Cina.
Kalau menggunakan benang lokal, kwalitas hasil produksi tidak cukup bagus karena mudah rusak, " ujarnya.
Sugeng mengaku, untuk satu biji sarung tenun goyor, kini ia jual dengan harga Rp 500 ribu hingga Rp 900 ribu. Harga pemasaran tersebut disamakan dengan harga jual dalam dan luar negeri khususnya pasar Timur Tengah. (end)
(TOM)