428 Destinasi Wisata di Jatim Belum Boleh Buka, Ini Penyebabnya!

Ilustrasi Ilustrasi

SURABAYA: Pemerintah Provinsi Jawa Timur mencatat 428 dari 474 destinasi wisata tidak buka, meski daerah setempat berstatus level dua dan tiga. Sebabnya, ratusan wisata tersebut belum memiliki sertifikat CHSE (Cleanliness, Health, Safety dan Enviroment) dan QR Code.

"Artinya baru 9,7 persen atau setara 46 destinasi wisata yang bersertifikat, dan diizinkan beroperasi," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim, Sinarto, di sela acara East Java Tourism Award 2021 dan East Java Fashion Harmony 2021 di Hotel Mercure, Malang, Jumat malam, 10 Desember 2021.

Tak hanya destinasi wisata, sertifikat CHSE ini juga berlaku bagi hotel, restoran dan homestay. Saat ini hanya 188 dari 1.510 hotel yang tersertifikasi di Jatim.

"Sementara homestay ada 5 dari 1.324 unit. Sedangkan rumah makan dan restoran yang tersertifikasi baru sebanyak 147 dari 4.323 unit," ujarnya.

BACA: 2 Jenazah Ditemukan di Area Tambang, Korban Meninggal Erupsi Semeru 46 Orang

Sinarto mengatakan sertifikat tersebut menunjukkan destinasi wisata terjamin kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan. Sinarto mendorong pengelola wisata, dan pemerintah kabupaten/kota segera mendaftarkan wisata agar mengantongi sertifikasi CHSE.

"Karena apa, hal itu penting untuk menjaga pengelolaan secara baik dan keselamatan bagi pengunjung atau wisatawan," katanya.

Selain sertifikat CHSE, tempat wisata juga harus menyediakan QR Code, sehingga pengunjung yang masuk wajib scan barcode melalui aplikasi PeduliLindungi. Hingga saat ini, batu ada empat daya tarik wisata Jatim yang dilengkapi QR Code, yakni Taman Rekreasi Selecta dan Jatim Park 2 di Kota Batu, Hawaii Group di Kota Malang dan Maharani Zoo Goa di Lamongan.

"Untuk usaha pariwisata yang sudah dilengkapi QR Code, rinciannya 40 hotel, 203 restoran dan 42 cafe," ujarnya.

Sinarto menyatakan bahwa kebijakan itu diterapkan di daerah PPKM Level 2 dan 3 sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri). Selain itu, harus mendapat rekomendasi pemerintah kabupaten/kota setempat. "Jadi harus hati-hati, tetap harus patuh pada Inmendagri, itu direkomendasikan bahwa yang mengambil keputusan kepala daerah," ujarnya.

 


(TOM)

Berita Terkait