SURABAYA : Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menjadi pilot project Restoratif Justice (RJ) dalam kasus narkotika. Hal itu diberikan Kejati Jatim kepada PE Bin G, tersangka kasus narkotika yang mendapat RJ dan direhabilitasi di Pusat Therapy dan Rehabilitasi NAPZA Mitra Adhyaksa Pemprov Jatim di RS Jiwa Menur, Kamis 4 Agustus 2022.
"Status hukumnya sudah dihentikan. Apabila belum selesai masa rehab, kemudian tersangka keluar (belum ada penyembuhan) berati harus dipidana dan masuk ranah Pengadilan," kata Kepala Kejati (Kajati) Jatim, Mia Amiati usai penyerahan RJ tersangka kasus narkoba di RSJ Menur.
Mia menjelaskan, ketentuan RJ bagi PE ini harus benar-benar dijalani. Pihaknya akan berkomunikasi dengan Dirut RSJ Menur. Serta akan mengevaluasi 3 bulan pertama berdasarkan ketentuhan dari Pemerintah dan berdasarkan pertanggungjawabannya. Apabila belum sembuh dan masih perlu direhab, Mia memastikan masih ada 3 bulan kedua untuk proses rehabiltasi.
"Apabila dalam 3 (tiga) bulan belum sembuh dan tiba-tiba anaknya lari. Maka harus diproses hukum sesuai Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika, dengan ancaman pidana paling lama 4 (empat) tahun. Saya berharap PE ikuti aturan ini," tegas Mia.
Baca juga : Mantan Kades Bangkalan Jadi Tersangka Korupsi PKH
Terkait perkaranya, Mia membeberkan, pada 28 Mei 2022 tersangka PE mengantar uang hasil kerja di tempat pelelangan ikan (TPI) ke rumah temannya. Sesampainya disana, tersangka melihat temannya menghisap sabu dan dirinya ditawari juga. Saat PE dan temannya menghisap sabu, seketika itu juga keduanya ditangkap oleh petugas Reskoba Polres Trenggalek.
Oleh Polres Trenggalek, sambung Mia, tersangka yang berusia 27 tahub ini disangkakan Pasal 127 ayat (1) huruf A UU RI No 35 Tahun 2009 tebtang Narkotika. Dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara. Setelah menerima tahap II, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Trenggalek melakukan profiling terhadap tersangka PE.
"Pada Rabu (3/8) dilakukan ekspose perkara narkotika dihadapan Jam Pidum yang diajukan Kajari Trenggalek untuk dimohonkan penghentian penuntutan dengan menerapkan keadilan restoratif. Oleh pimpinan disetujui, dan dihentikan penuntutannya serta dilakukan rehabiltasi terhadap tersangka," jelas Mia.
Masih kata Mia, ini merupakan perkara narkotika pertama yang disetujui oleh pimpinan untuk dihentikan penuntutannya. Dan terhadap tersangka akan dilakukan rehabilitasi di Pusat Therapy dan Rehabilitasi NAPZA Mitra Adhyaksa Pemprov Jatim di RS Jiwa Menur.
"Alhamdulillah, ini merupakan pertama di Jatim. Dan menjadi contoh bahwa negara melalui Kejaksaan hadir di masyarakat bisa menegakkan hukum," ungkapnya.
Mia menambahkan, alasan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Sambung Mia, diantaranya tersangka hanya sebagai penyalahguna narkoba untuk diri sendiri. Tersangka ada ketergantungan untuk pemakaian narkoba, kalau dibiarkan pasti akan ada keinginan lagi mencoba narkotika.
"Tersangka juga bukan residivis kasus narkotika dan tidak berperan sebagai produsen serta kurir terkait jaringan gelap narkotika," pungkasnya.
Sementara itu, Dirut RSJ Menur, Vitria Dewi menambahkan, pihaknya akan melakukan penanganannya secara komprehensif. Secara medis dilakukan tahapan seperti detoksifikasi dan segaka macam. Kalau itu sudah selesai, sambung Vitria, selanjutnya proses adaptasi dan pengenalan lingkungan untuk peningkatan bagaimana relasinya dan psikososialnya menjadi lebih baik.
"Disini penanganannya sesuai jadwal yang kita atur, mulai penanganan secara religiusnya, bagaimana kemudian dia harus bertanggungjwab. Karena proses ini tidak hanya pengobatan, tapi perubahan pelaku," pungkasnya.
Terpisah, praktisi hukum, Dr. Sunarno Edy Wibowo angkat bicara terkait program RJ pada perkara narkotika yang dilakukan Kejati Jatim. Menurutnya, hal tersebut (RJ Narkoba) tak seharusnya dilakukan, meski hanya pada pengguna dan telah dilakukan profiling lengkap. Bowo menyatakan, seharusnya Kejaksaan juga tak tebang pilih. Artinya, harus melakukan RJ pada seluruh pengguna.
"Sekarang begini, kalau di RJ, RJ semua lah, jangan tebang pilih," kata Bowo.
Dosen salah satu perguruan tinggi swasta itu menjelaskan, di dalam etika satu profesi hukum ada 4, yakni advokat, polisi, jaksa, dan hakim. Menurutnya, masing-masing instansi memiliki kewenangan sesuai tupoksinya.
"Punya kewenangan sendiri-sendiri, ketika ada hubungannya RJ, itu gak bisa dipenggal-penggal begitu saja, karena di dalam Undang-Undang no 35 tahun 2009, Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika harus masuk dalam proses persidangan, karena ini sudah diundangkan," ujarnya.
Apabila tidak ada proses persidangan, nantinya jaksa harus sama di mata hukum sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi 'Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum' atau tentang konstitusi.
"Kalau begitu, nggak usah tebang pilih. Jadi, semua (di RJ) kalau itu memang berhak," tuturnya.
Ia khawatir, RJ pada perkara narkotika itu justru memantik polemik baru. Bahkan, menimbulkan kegaduhan pada khalayak.
"Kalau terbang pilih, ini nanti ada sesuatu yang kecurigaan, sesuatu yang nantinya masyarakat akan menilai. Pemakai, menyimpan, mengedarkan, menggunakan, dan sebagainya tanpa hak itu 4 tahun (penjara), sesuai pasal 112 Narkotika. Kecuali, memang sudah ada pengaturan dari pihak penyidik," katanya.
Selain itu, Bowo juga menyoroti kewenangan aparat penegak hukum yang seolah diambil oleh pihak tertentu. "Kewenangan jaksa, hakim, atau polisi jangan sampai diambil oleh seorang advokat, sama-sama ya punya undang-undang. Kalau advokat, punya undang-undang tahun 18 tahun 2003, kalau jaksa punya undang-undang 14 tahun 2006, hakim dan kepolisian juga demikian," ujar dia
(ADI)