SURABAYA : Pernahkah kamu berpikir tentang kondisi empat dekade ke depan?, teknologi semakin canggih, hidupmu sudah mapan dan menikmati hari tua. Atau berharap hidup akan lebih mudah. Sayangya tidak, pada saat bersamaan kamu mungkin tengah dihadapkan pada kelangkaan bahan pangan dan harus "berperang" untuk segenggam beras.
Bukan karena tidak mampu membeli beras, tapi karena tidak ada lagi petani yang memproduksi padi. Kelangkaan bahan pangan memang telah diprediksi banyak orang. Ini bisa dilihat sekarang, dengan semakin jarangnya generasi muda yang berminat jadi petani.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahkan memprediksi, petani bakal jadi profesi yang hilang pada 2063.
“Mungkin pada 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani,” kata Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia pada kesempatan lalu.
Saat itu, mungkin kenangan bahwa Indonesia pernah menjadi negeri agraris sudah tidak berbekas. Padahal, petani pernah menjadi profesi yang cukup diminati di negeri ini dengan presentase mencapai 65,8 persen dari total populasi pada 1976.
Kondisi itu berbanding terbalik sekarang. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah petani yang tersisa di Indonesia pada 2019 hanya tersisa 28 persen. Angka ini tentu saja bakal terus berkurang.
Lalu apa yang menjadi penyebabnya? Ada banyak faktor.
1. Bukan Profesi Menjanjikan
Jika kamu bertanya tentang cita-cita anak seumuranmu atau adik-adikmu tentu cita-cita menjadi petani tentu akan menjadi pilihan yang kesekian, atau bahkan tak pernah terpikirkan.
Faktanya, petani bukan profesi menjanjikan dan banyak anak muda yang lebih meminati sektor selain pertanian sebagai penghidupan. Apalagi di era teknologi dan media sosial saat ini.
Sebagai contoh, pekerja di sektor jasa yang pada 1976 sebesar 23,57 persen pada 1976 menjadi 48,9 persen pada 2019. Alasan kenaikan jumlah ini sederhana, bayaran di sektor jasa lebih menjanjikan ketimbang menjadi petani.
2. Berkurangnya Lahan
Alasan lain yang membuat jumlah petani semakin berkurang adalah berkurangnya lahan hijau. Ladang dan sawah potensial tidak sedikit yang berubah menjadi perumahan, pabrik, kebun sawit, dan lain-lain, lantaran petani tergiur memperoleh easy money yang besar dengan menjual lahannya.
Salah satunya seperti yang terjadi di salah satu desa Tuban beberapa waktu lalu. Ratusan hektar lahan subur mereka direlakan untuk perusahaan minyak asing. Mereka pun menjadi miliader mendadak dan langsung memborong mobil.
Alih fungsi lahan ini tentu saja tidak murni kesalahan petani. Akan tetapi regulasi yang kurang tepat terhadap alih fungsi tersebut, anggapan bahwa menjadi petani nggak menjanjikan kekayaan, dan keinginan petani untuk mengubah nasib menjadi beberapa hal yang membuat petani merelakan lahannya dimiliki orang.
3. Perubahan Iklim
Petani adalah profesi yang berisiko. Kenapa demikian, faktanya mereka tidak hanya cuma terhimpit regulasi yang buruk dan harga jual yang rendah, mereka juga terkendala perubahan iklim. Cuaca yang semakin sulit diprediksi memengaruhi cara menanam, sehingga bertani pun jadi semakin sulit dilakukan.
Data Food Sustainability Index yang dikeluarkan tim Economist EIU dan Barilla Center for Food and Nutrition membuktikan bahwa Indonesia hanya ada di peringkat ke-60 dalam bidang keberlangsungan sistem pangan. Angka ini jauh di bawah Etiopia yang ada peringkat ke-27.
Untuk diketahui, Etiopia merupakan negara yang mengalami masalah pangan yang sangat parah. Sedangkan Indonesia sebagai negera agraris justru nasib para petani makin "mengenaskan".
Kendati pertanian modern mulai banyak diaplikasikan di negeri ini, tanpa lahan yang cukup dan regulasi yang baik, sampai kapan pun petani tidak akan jadi profesi yang menjanjikan.
(ADI)