Meski terbuat dari tomat, tetapi dari sisi tekstur dan fisik makanan ini memang mirip dengan kurma yang berasal dari timur tengah. Campuran rasa manis dengan legitnya daging tomat layaknya kurma menjadi pembeda dibandingkan olahan buat manisan-manisan yang lainnya.
Pemilik usaha Kurmo Jowo Sri Endah Wahyuningsih mengatakan, awal mula mengolah tomat sejak masih duduk di bangku SMA. Saat itu ia gemar mengonsumsi tomat karena melimpahnya buah tomat semasa ia tinggal di Malang bersama orang tuanya
"Dulu mulai belajar membuat kurma tomat itu sejak tahun 1992, waktu itu belajar buat sama adik, dan saya sajikan sebagai camilan lebaran, ternyata banyak yang suka dan pesan," kata Endah.
Dari sanalah ia kemudian terinsipirasi membuat produk olahan tomat sepulangnya ke Bojonegoro. Sejak tahun 1992 itulah ia mencoba-coba mengolah buah tomat dijadikan olahan makanan siap saji. Bersama sang adik ia mencoba membuat manisan dari buah tomat.
"Pengolahan buah tomat ini sama dengan manisan lain, dilubangi, direndam pakai air kapur sirih sehari semalam, dicuci bijinya, setelah bersih ditiriskan, dicampur pakai gula pasir, kita rebus. Kalau sudah diolah warna hijau itu mendekati coklat, yang warna merah hasilnya ya kayak gitu. Jadi menyerupai kurma, kalau kurma itu kan dari Arab Timur Tengah sana, nah ini kan dari Jawa akhirnya dinamakan Kurmo Jowo," ujarnya.
Baca juga : Tradisi Sanggring Gresik, Sudah Berjalan 490 Tahun
Sempat jatuh bangun
Dikarenakan saat diolah tekstur tomat manisan yang kering itu memunculkan efek warna kecoklatan akhirnya nama Kurmo Jowo diputuskan untuk dijadikan merek olahan produk buah tomatnya. Kini brand Kurmo Jowo itu menjadi merek olahan produk buah manisan rumahan perempuan warga Desa Mojodeso, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro ini. Perempuan berusia 59 tahun ini lantas mulai mengurus PIRT dan selang setahun kemudian izin produknya keluar pada 2010.
"Dulu tidak langsung diterima, sempat ditolak Bravo (salah satu supermarket di Bojonegoro,red) juga, karena kemasannya yang kurang menarik, karena waktu itu hanya saya kemas dengan plastik dan mika biasa dengan label kertas fotokopi hasil dari design anak saya yang masih duduk di bangku SMP," tuturnya.
Apalagi saat itu olahan buah tomat produksinya dinilai hanya bisa bertahan sebentar. Sehingga ketika ada calon pembeli dari China sempat tak jadi membeli produknya, karena estimasi pengiriman lama dan makanan rawan busuk setibanya di China. Dari sanalah ia akhirnya mengembangkan produknya usai mengikuti pelatihan dari dinas terkait.
Kemudian, ia berinovasi mencoba menambahkan pengawet makanan alami demi menjaga manisan bisa lebih awet. Hal ini didukung upaya dinas terkait di tingkat kabupaten dan provinsi Jawa Timur yang tengah mencari produk unggulan daerah, yang membuat produknya mulai dikenal.
"Tahun 2013 gencarnya mencari produk unggulan daerah mau dimasukkan website-nya dinas untuk dipasarkan. Cukup lama sampai tahun 2018 itu akhirnya baru ada pesanan rutin lagi sehabis masuk salah satu televisi swasta," tuturnya.
Bahkan di tahun 2016 - 2017 usai mengikuti pameran di Surabaya, ia tak mendapat pesanan sama sekali. Namun perlahan tapi pasti mulai 2018, penjualan Kurmo Jowo mulai meningkat. Tetapi sayang ia belum bisa memenuhi pesanan tersebut. "Saya itu buat Kurmo Jowo untuk mengisi kekosongan, pernah waktu pelatihan diminta jangan cuma dibuat sewaktu nganggur, tapi betul-betul diseriusi untuk bisnis. Tapi saya akui kalau betul-betul bisnis nggak mampu, kalau ini kan hobi, hobi saya masak," kata dia
Tetapi atas saran dan dorongan beberapa pihak termasuk dari dinas terkait membuatnya mencoba untuk mengembangkan produknya. Hasilnya beberapa produk Kurmo Jowo-nya terjual sampai ke beberapa negara mulai Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, hingga Belanda. Selain ke luar negeri, beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Malang, hingga ke Pulau Kalimantan memesan kreasi makanan unik ini.
"Waktu itu ada yang bawa, ada yang minta jadi bisa terjual, ditawarkan ke pembeli di Belanda, Alhamdulillah laku. Terus ada orang minta dikirim ke Singapura, Amerika Serikat, dan Hongkong, itu sesuai permintaan mereka. Jadi sudah ada yang mesan," katanya.
Sempat terburuk selama dua tahun lebih di 2019 hingga 2021 akibat pandemi Covid-19, kini penjualannya mulai menunjukkan tren kenaikan kembali. Harga yang bersahabat sebesar Rp12.000 sampai Rp16.000 per kemasan dengan ukuran 1 ons untuk pengemasan biasa dengan standar pouch dan pengemasan premium, menjadikan diminati masyarakat.
Bahkan menjelang Hari Raya Idul Fitri 2022 ini pesanannya naik hingga 10 kali lipat dibandingkan hari biasanya di luar Ramadan dalam kondisi pandemi Covid-19. "Alhamdulillah naik 10 kali lipat di bulan Ramadan ini. Sekarang membuat 15 kilogram seharinya, total terjual 15 - 16 kilogram kalau ditotal dari beberapa toko dan pesanan yang masuk. Jadi 15 - 16 kilogram itu yang jadi uang, kalau tomatnya bisa habis 70 kilogram," katanya.
Kini kendati ia hanya memasarkan produknya dari mulut ke mulut secara offline, produknya sudah cukup diminati berbagai kalangan. Masyarakat yang mudik ke Bojonegoro bisa membeli buah tangan unik Kurmo Jowo ini di dua supermarket terkemuka, sebuah toko camilan di Jalan Diponegoro, atau bisa memesan melalui Instagram @Kurmojwo_tomat.
"Ikut Shoppe tidak laku, cuma offline saja penjualannya, dan melewati Facebook atau pesan lewat WhatsApp. Yang terbanyak beli dari supermarket Bravo dan KDS, dan toko-toko yang tak titipi di situ," tuturnya.
Saat ini di tengah melonjaknya pesanan, ia masih menanganinya sendiri, dengan sesekali dibantu sang anak. Ia berharap produknya bisa kian laris setelah lebaran dan menjadi salah satu produk unggulan daerah Kabupaten Bojonegoro.
"Pemerintah itu kalau bikin parsel - parsel seharusnya produk kita produk dalam negeri. Kan ada datanya di dinas, nggak usah gaya-gayaan pakai roti kaleng, biar meningkatkan pemasukan dan memberdayakan UMKM juga," katanya.
(ADI)