Dikukuhkan, Dua Profesor Baru di Universitas Brawijaya

Universitas Brawijaya. Foto: Medcom.id/Daviq Umar Al Faruq Universitas Brawijaya. Foto: Medcom.id/Daviq Umar Al Faruq

MALANG: Jumlah profesor di Universitas Brawijaya (UB) Malang bertambah setalah ada dua profesor baru dikukuhkan pada Kamis 17 Desember 2020.

Dua profesor baru itu, yaitu Prof Dr Luqman Hakim dan Prof Dr Racmad Syafaat. Keduanya tercatat sebagai profesor  bidang Sosiologi Pemerintahan dari Fakultas Ilmu Administrasi dan bidang Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam dari Fakultas Hukum.
 
Pengukuhan kedua profesor tersebut menjadikan UB kini memiliki profesor sebanyak 189 orang atau 272 profesor dari seluruh yang dikukuhkan kampus.

Dalam pidato ilmiahnya, Luqman Hakim mengupas masalah pemilihan kepala daerah (pilkada) saat ini yang dinilai bias politik dan sosial. Pilkada berkembang menjadi pemilihan politik antroposentrik kedaerahan dalam arti lebih menyuburkan ikatan-ikatan primordialisme daripada nasionalisme politik.

"Saat ini pilkada seperti pemilihan kepala politik dibandingkan kepemimpinan administrasif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah saya lakukan selama 15 tahun. Keberadaan pilkada dianggap membahayakan, karena sudah menjauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945," kata Lukman melansir Antara, Kamis, 17 Desember 2020.
 
Menurut dia, biaya pemilihan politik yang mahal, calon kepala daerah dikuasai ataupun secara suka rela menyerahkan diri kepada oligarki yang pusat kekuasaannya berada di tangan para pejabat tinggi negara, petinggi partai politik, atau para cukong. Dari perspektif sosiologi pemerintahan, kata dia, diprediksi pilkada cepat atau lambat, membahayakan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
 
Sementara itu, Rachmad Syafaat dalam pidato ilmiahnya menyatakan perlu adanya keadilan dalam tata kelola pertambangan mineral dan batubara. Ia menyampaikan Indonesia merupakan penghasil batubara terbesar kelima sekaligus menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Namun, pemanfaatan batubara di dalam negeri masih minim.
 
Dengan potensi kontribusi yang besar tersebut, kata dia, diperlukan kejelasan arah politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batubara yang mampu menyejahterakan rakyat. Khususnya, di daerah yang kaya bahan tambang serta menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi berikutnya. Namun demikian, kata dia, realitas yang ada justru terjadi sebaliknya.
 
"Kekayaan sumber daya mineral dan batubara, tidak serta-merta menyejahterakan rakyat dan memberikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat," tutur Rachmat.
 

 


(TOM)

Berita Terkait