SURABAYA : Perjuangan selama 14 tahun yang dilakukan tujuh anggota keluarga petani, sebagai ahli waris dari Satoewi (almh) melalui gugatan di pengadilan belum membuahkan hasil. Gugatan yang mereka layangkan masih tersandung dengan adanya klaim dari PT Artisan Surya Kreasi, sebagai pihak yang mengaku juga berhak atas obyek lahan.
Hal ini mengemuka pada sidang beragendakan Bukti Surat Tergugat Intervensi (PT Artisan Surya Kreasi) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, Selasa 11 Agustus 2020.
Salah satu tim kuasa hukum penggugat, Immanuel Sembiring mengatakan, bahwa sebenarnya para ahli waris tidak pernah keberatan dengan kepemilikan tanah pihak manapun, termasuk tanah milik PT Artisan Surya Kreasi. Ahli waris juga tidak menolak pembangunan dalam bentuk apapun.
Namun, jika ada klaim kepemilikan tanah oleh pihak lain di atas tanah yang telah digarap turun-temurun itu, tentu ahli waris keberatan. Pertama, konsekuensinya jelas, para ahli waris akan angkat-kaki dari tanah miliknya sendiri. Kedua, tanah sawah warisan tidak akan bisa lagi digarap dan ketiga, sumber penghidupannya sebagai petani niscaya tercabut.
“Menjadi satu pertanyaan besar bagaimana dua bidang tanah dengan pethok dan persil tanah yang berbeda, antara milik ahli waris Almh. Satoewi dengan tanah milik PT Artisan Surya Kreasi, tiba-tiba diklaim merupakan satu tanah yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Jawabannya tentu saja menunggu nurani para Yang Mulia Hakim,” ujar Immanuel Sembiring usai persidangan.
Polemik tanah waris ini, berawal dari terbitnya surat bernomor 1203/600-35.78/III/2020 tertanggal 4 Maret 2020 yang dikeluarkan oleh tergugat pada 17 Maret 2020 lalu.
Pada intinya, surat yang dikirimkan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I itu berisi penolakan untuk menindaklanjuti penerbitan sertipikat hak milik (SHM) yang diajukan oleh ketujuh ahli waris, yaitu Parkan, Iskandar, Supardi, Asnan, Somo, Sulikah dan Ponimah, yang seluruhnya memberikan kuasa kepada ahli waris kelima, yaitu Somo melalui tim advokat yang tergabung dalam Litiga-at-law, yang berkantor di Jakarta.
Surat Kepala BPN terasebut akhirnya digugat, dan saat ditengah sidang proses pembuktian, muncul PT Artisan Surya Kreasi yang tergabung menjadi tergugat intervensi. Menurut kuasa hukum, surat Kepala BPN itu terbit, padahal sebelumnya sudah terbit Gambar Ukur bernomor 4711/2006 sejak tanggal 18 September 2006 lalu.
“Saat menunggu tahapan proses selanjutnya, yaitu penerbitan SHM terhadap tanah nomor 956 Persil 169 S.I dan S.II masing-masing luas tanah 8.410 m2, tiba-tiba Kepala BPN selaku tergugat mengirimkan surat balasan berisi penolakan tindak lanjut. Tentunya dengan hal ini, para ahli waris dirugikan karena tidak memperoleh kepastian hukum atas hak tanah milik mereka,” ujar Immanuel Sembiring.
Ditambahkan Immanuel, kedua obyek tanah tersebut, hingga saat ini dalam penguasaan pengugat secara turun-temurun tanpa terputus sejak dibeli oleh ibu para ahli waris yaitu Satoewi (almh) pada 1956 silam.
Dalam petitum gugatan, pengugat memohon majelis hakim pemeriksa untuk mengabulkan seluruh gugatannya.
Termasuk memerintahkan Kantor Pertanahan Kota Surabaya I untuk mencabut surat penolakan bernomor 1203/600-35.78/III/2020 tertanggal 4 Maret 2020, dan melanjutkan kembali proses penerbitan SHM atas kedua obyek tanah yang diajukan oleh penggugat.
Selama 14 tahun lamanya ahli waris menanti penerbitan sertifikat, serta berharap program sertifikasi tanah untuk rakyat kecil yang diprogramkan Presiden Jokowi dapat menjadi energi pendorong perbaikan administrasi pendaftaran pertanahan di Surabaya.
“Namun ceritanya ternyata tidak mulus-mulus saja. Ternyata ahli waris terpaksa mencari kepastian hukum hingga ke Pengadian Tata Usaha Negara Surabaya,” imbuh Immanuel.
(ADI)