SURABAYA : Sidang dugaan penipuan pembangunan infrastruktur pertambangan dengan terdakwa berlanjut. Tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa Christian Halim menghadirkan dua saksi. Alih-alih meringankan terdakwa, dihadirkannya kedua saksi itu justru dinilai tak relevan.
Pasalnya, saksi Bimantara Agung Prawoto dan Indra Alfiandi tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan pembangunan infrastruktur yang dikerjakan oleh terdakwa. Selain itu, keduanya tidak capabel untuk menjelaskan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa.
"Saksi Bimantara hanyalah teman kuliah terdakwa. Ternyata terdakwa adalah alumni di Teknik Mesin Otomotif yang hal itu menguatkan dakwaan kami bahwa terdakwa bukan seorang ahli tambang. Ditunjang lagi, keterangan saksi yang mengatakan bahwa sebelumnya dalam proyek-proyek yang dikerjakan PT MPI, kegiatan terdakwa hanya seputar kerjasama pengangkutan dan persewaan alat berat," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Novan B Arianto, Kamis 1 April 2021.
Saksi Bimantara juga mengatakan bahwa kegiatan penambangan di Morowali ini merupakan proyek tambang pertama yang ia kerjakan bersama terdakwa. Bahkan ia mengaku baru mengetahui terdakwa menjadi seorang kontraktor tambang.
Ia juga mengatakan bahwa pada Pebruari 2020 ada tim kontraktor lain yang didatangkan untuk melakukan kegiatan renovasi infrastruktur yang sebelumnya dikerjakan terdakwa. Terkait keterlibatan Doni, ayah terdakwa, dalam pengerjaan proyek ini, saksi mengakui bahwa Doni juga kerap terlihat di area pertambangan.
"Sedangkan terdakwa Christian Halim sendiri jarang, hanya terlihat di lapangan 5-6 kali saja. Kalau pak Doni terlihat sampai Januari 2020, bahkan Weinar sudah tidak tampak, dia Desember 2019 sudah pergi. Dan PT MPI berjumlah 3-4 orang saja karyawannya,," beber saksi.
Doni sendiri, tak lain adalah ayah terdakwa Christian Halim. Saksi-saksi yang dihadirkan pada sidang sebelumnya juga sempat mengatakan bahwa kerja mereka kerap menuruti arahan Doni.
Keterangan saksi kedua, Indra Alfiandi, juga mendukung keterangan saksi sebelumnya, bahwa sebelumnya ia bekerja dengan terdakwa dalam bidang persewaan truk dan pengangkutan.
Saksi yang dikaryakan oleh terdakwa sebagai konsultan dan kontraktor dalam proyek pertambangan ini pun mengaku bahwa dirinya tidak tahu menahu terkait proyek infrastruktur yang dikerjakan terdakwa.
Terkait target hasil tambang, saksi mengatakan bahwa dirinya sempat mendengar dari terdakwa terkait jumlah hasil tambang yang harus mereka dapatkan.
"Ada target 100.000 metrik/ton yang disampaikan oleh terdakwa kepada saya, namun hasilnya hanya 17.000 metrik/ton yang ada di stock pile dan 10.000 metrik/ton di titik tambang," terangnya.
Kendati tidak dilibatkan pada proyek infrastruktur, saksi mengakui bahwa peran infrastruktur sangat berpengaruh besar terhadap pekerjaan pertambangan serta hasil produksi tambang itu sendiri.
"Saya tidak tahu alasan pekerjaan terdakwa dihentikan, tiba-tiba ada tim kontraktor baru masuk untuk melakukan renovasi infrastruktur dan penambangan," tambahnya.
Saksi pun mengakui saat ia tinggal, Jetty yang dibangun terdakwa masih berbentuk huruf 'I'. "Dan saya belum melihat ada pengapalan (tongkang sandar, red)," imbuhnya.
Selain kedua saksi diatas, tim penasehat hukum terdakwa juga menghadirkan ahli perdata Dr Ghansham Anand dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Ia menjelaskan terkait perbedaan istilah wanprestasi dengan tindak pidana penipuan. Menurutnya, penipuan adalah rangkaian kebohongan yang sengaja dilakukan pelaku untuk mempengaruhi korban. Apabila korban sejak awal tahu, pasti tidak akan tergerak untuk melakukan perjanjian.
"Salah satunya, menyatakan suatu fakta benar padahal pelaku tahu hal itu tidak benar," terangnya.
Ia juga menyinggung terkait perjanjian yang dibuat secara lisan. Menurutnya, hal itu akan menemui kesulitan dalam pembuktian, tapi bukan berarti tidak bisa dibuktikan.
"Apabila tidak ada kesesuaian kehendak oleh antar pihak, hakim nantinya yang menilai, dengan memperhatikan kronologis perkara," terangnya.
Namun kepada ahli, tim JPU tidak mengajukan pertanyaan. Menurut jaksa Novan, ahli dengan spesifikasi hukum perikatan ini, tidak relevan dihadirkan dalam sidang pemeriksaan perkara pidana yang saat ini tengah berjalan.
"Sengaja kami tidak mengajukan pertanyaan, karena dalam sidang perkara pidana, yang dicari adalah alat bukti materiil. Untuk itu tadi kami juga meminta majelis hakim fokus pada pembuktian materiil. Jadinya, menjadi tidak relevan apabila sidang pidana yang fokusnya pada pemidanaan yang didatangkan seorang ahli perdata," tambah jaksa.
Terkait keterangan dua saksi dan ahli, terdakwa Christian Halim tidak ada sanggahan.
"Tidak ada (sanggahan, red) yang Mulia," jawab terdakwa.
Seperti yang tertuang dalam dakwaan, terdakwa Christian Halim menyanggupi melakukan pekerjaan penambangan biji nikel yang berlokasi di Desa Ganda-Ganda Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah.
Kepada pelapor Christeven Mergonoto (pemodal) dan saksi Pangestu Hari Kosasih, terdakwa menjanjikan untuk menghasilkan tambang nikel 100.000 matrik/ton setiap bulannya dengan catatan harus dibangun infrastruktur yang membutuhkan dana sekitar Rp20,5 miliar.
Terdakwa mengaku sebagai keluarga dari Hance Wongkar kontraktor alat berat di Sulawesi Tengah yang akan membantu menyediakan alat berat apabila penambangan berjalan. Padahal, belakangan diketahui terdakwa tidak memiliki hubungan dengan orang tersebut.
Dana sebesar Rp20,5 miliar yang diminta terdakwa telah dikucurkan. Namun janji tinggal janji, terdakwa tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Bahkan menurut perhitungan ahli Teknik Sipil Struktur ITS Ir Mudji Irmawan Arkani MT, berdasarkan hasil pemeriksaan fisik konstruksi, terdapat selisih anggaran sebesar Rp9,3 miliar terhadap hasil proyek yang dikerjakan terdakwa.
Atas perbuatannya, terdakwa dijerat pasal 378 KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sidang dilanjutkan Senin 5 April 2021 mendatang, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli pidana yang dihadirkan tim penasehat hukum
(ADI)