JAKARTA : Sejumlah perusahaan minyak dan gas (migas) asing hengkang dari Indonesia, seperti Chevron, Shell, Total, dan Conocophilips. Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, selama ini investor migas yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia memang belum mendapatkan kepastian hukum lantaran revisi UU Migas No 22/2001 tak kunjung kelar.
"Padahal ini merupakan salah satu kunci dalam menarik investor," katanya, Senin 7 Maret 2022.
Tak hanya ketidakpastian izin, menurutnya, birokrasi berinvestasi di Indonesia juga begitu rumit. Investor harus melalui kurang lebih 146 perizinan dari berbagi kementerian dan lembaga untuk berinvestasi di hulu migas. Hal tersebut dinilai membingungkan dan membuang waktu mereka.
Baca juga : 146,5 Juta Warga Indonesia Terima Vaksin Covid-19 Dosis Dua
Selain itu, daya tarik kebijakan fiskal Indonesia masih sangat rendah dan di bawah negara tetangga Malaysia. Skor kebijakan fiskal Indonesia berada di angka 2.4, sedangkan Malaysia sebesar 3.3. "Perlu adanya kebijakan fiskal yang menarik dan lebih atraktif agar investasi di hulu migas bisa semakin tinggi," ujarnya.
Masalah lain yang cukup rumit, meliputi pembebasan lahan yang sulit dan lama, isu sosial di masyarakat, nilai investasi yang besar hingga ketidakkonsistenan pemerintah dalam menghargai kontrak karena kebijakan yang berubah-ubah.
"Sanctity contract bagi investor besar saya kira sangat penting. Jangan sebentar-sebentar kebijakan kita berubah-ubah," ucap Mamit.
(ADI)