Soal Proses Hukum DPO Pencabulan Jombang, Kajati Jatim : Equality Before The Law

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Mia Amiati (Foto / Istimewa) Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Mia Amiati (Foto / Istimewa)

SURABAYA : Proses hukum dugaan pencabulan santriwati Jombang dengan tersangka MSAT jadi perbincangan publik. Sebelumnya, polisi gagal menangkap tersangka lantaran melakukan perlawanan. Tak hanya itu, keluarga tersangka juga menuding proses penegakan hukum itu perbuatan fitnah.

Kasus ini pun direspon banyak pihak, salah satunya Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Mia Amiati. Menurutnya, seseorang yang telah disangkakan melakukan suatu tindak pidana bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka bisa saja merasa dirinya sebagai korban fitnah. Namun tudingan balik mengenai perbuatan fitnah tersebut tidak dapat terpisah dari proses hukum.

Dia menilai syarat agar suatu tuduhan dapat dianggap sebagai fitnah karena dianggap tidak berdasar (tanpa alat bukti), maka perbuatan fitnah tersebut harus memenuhi unsur Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

"Artinya, apakah tersangka merupakan korban fitnah atau tidak, apakah pelapor atau korban telah melakukan tindak pidana fitnah atau tidak, proses hukumlah yang dapat membuktikannya," kata Mia, Selasa 5 Juli 2022.

Mia menjelaskan pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Namun sebelum masuk ke tahap pembuktian di persidangan, ada tahapan proses yang harus dilalui, yakni penyerahan tersangka dan alat bukti dari penyidik kepada penuntut umum.

Baca juga : Anak Kiai Jombang Cabul Gagal Ditangkap, PWNU Jatim: Polisi Jangan Pandang Bulu!

"Nah,  dalam kasus yang melibatkan tersangka MSA tersebut belum dapat dilakukan karena yang bersangkutan selalu mangkir dari panggilan penyidik bahkan melarikan diri bahkan menjadi DPO," terangnya.

“Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah ditegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Prinsip equality before the law tersebut merupakan norma yang melindungi hak asasi warga negara untuk melawan diskriminasi dan kesewenang-wenangan penguasa," imbuhnya.

Mia menjelaskan Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Untuk itu, hukum harus berlaku bagi setiap orang, bukan sebagian orang. Hukum ditempatkan dalam posisi tertinggi dimana kekuasaan pun harus tunduk pada hukum.

"Prinsip equality before the law merupakan manifestasi dari negara hukum (Rechstaat), sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet)," tandasnya.

Di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945, sambung Mia, secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

“Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum,” tegasnya.

Bahkan dalam hukum pidana Islam, lanjut Mia, asas equality before the law juga sangat dikedepankan. Sebab, memang asas ini adalah manifestasi dari sebuah hukum, penegak hukum tidak boleh membeda-bedakan seseorang dalam proses penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan. Seperti yang tercantum dalam surat Al Maidah ayat 8:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Maidah: 8).

Mia menambahkan, sebagaimana terdapat adagium hukum Fiat justitia ruat coelom atau Fiat justitia pereat mundus, maka sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan. Siapapun yang terlibat dalam tindak pidana, meskipun pejabat negara, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun konglomerat, harus tunduk pada hukum.

Terlepas dari keyakinan pribadi mengenai bersalah atau tidaknya, semua harus dibuktikan melalui proses hukum. Keadilan akan menemukan jalannya. Tidak ada seorangpun akan dihukum kecuali ia telah berbuat salah (nemo punitur sine injuria, facto seu defalta).


(ADI)

Berita Terkait