SURABAYA : Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro. Ini bersamaan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah yang diterbitkan Sultan Agung. Keputusan ini ditempuh dengan latar belakang penetapan 1 Muharram sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar Bin Khathab, khalifah Islam di jaman setelah Nabi Muhammad wafat.
Pada tahun 931 H atau 1443 tahun jawa baru, yakni pada zaman Pemerintahan Kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem Kalender Hijriyah dengan sistem Kalender Jawa pada waktu itu. Diperingati setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.
Banyak pandangan dalam masyarakat Jawa yang menganggap kramat, terlebih bila jatuh pada jumat legi, karena malam 1 suro dikaitkan dengan hal-hal mistis. Namun sesunguhnya ada banyak latarbelakang historis peristiwa penting yang terjadi di bulan Suro, khususnya penganut agama Islam, yang tentu saja berafiliasi dengan kebudayaan Mataram Jawa-Hindu. Untuk sebagian masyarakat Jawa pada malam satu suro dilarang kemana-mana kecuali untuk berdoa atau melakukan ibadah lain.
BACA JUGA : Ritual 1 Suro di Petilasan Raja Kediri Prabu Sri Aji Joyoboyo Ditiadakan
Sedikitnya ada 6 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura yang dilakukan orang Jawa, antara lain :
1. Siraman malam 1 Sura.
Mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan menyucikan raga, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura, antara lain dilakukan beberapa hal seperti lebih ketat dalam menjaga dan menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif.
Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan.
Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Bisa juga 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan).
Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.
2. Tapa Mbisu (membisu).
Tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
3. Lebih Menggiatkan Ziarah.
Pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden).
Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam. Sebab makam merupakan monumen sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur, mengenang dan meneladani amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita akan selalu ingat akan sangkan paraning dumadi.
Asal-usul kita ada di dunia ini juga melewati mereka semua. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan kembali pada Tuhan. Mengapa harus datang ke makam? Tentu atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa ilmu, kebahagian, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini.
4. Menyiapkan sesaji bunga setaman
Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang mendukung dan memelihara serta menjaga anak cucu, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam berbagai macam hal yang diikutsertakan. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan yang tersirat di dalamnya. B
Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar ada perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.
5. Jamasan pusaka.
Tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau melestarikan warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi.
Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawan, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah diperbuat dan digapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut dari “akarnya”.
6. Larung sesaji.
Larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe atau ragam bahan ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Ini bisa terjadi bila kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji.
(ADI)