Sebenarnya model ikan chana tak asing. Bentuknya seperti saduara dari ikan gabus dan kotes. Bagi masyarakat jawa, khususnya mereka yang banyak hidup di seputaran aliran sungai sudah akrab jenis ikan ini.
Di habitatnya, ikan kotes hidup di sungai berlumpur dan menjadikan ikan kecil sebagai makanan sehari-hari. Biasanya ikan ini banyak dijadikan objek memancing anak kecil untuk dipelihara di kolam atau akuarium sederhana.
Sempat menghilang dari peredaran, ikan kotes kini muncul dan semakin banyak dicari pecintanya. Terlebih, varian baru hasil import dari negara tetangga Asia dan Afrika setiap tahun terus bermunculan dan kini dikenal sebagai ikan chana.
Proses pemeliharaan ikan chana ini sangatlah mudah. Hanya membutuhkan sirkulasi air menggunakan pompa listrik. Tak perlu alat pengatur suhu air atau filter pun ikan predator ini dapat hidup di akuarium sederhana.
"Karena sifat aslinya yang teritorial dan petarung ikan chana wajib hidup terpisah. 1 akuarium hanya dapat dihuni 1 ikan chana dewasa," kata Peternak Ikan Predator, Heru Lasmono
Menurutnya, saat berusia muda, mereka masih dapat hidup bersama dalam 1 habitat. Ketika sudah beranjak dewasa terlebih memasuki usia siap kawin, sifat pemarahnya mulai muncul.
Menurut Heru, selama pandemi korona permintaan ikan chana meningkat tajam. Pesanan dari pelosok nusantara mulai dari Kalimantan, kota-kota di pulau jawa serta wilayah timur Indonesia terus berdatangan. Bahkan demi mendapatkan ikan buruan, para pecintanya rela terbang ke Malang.
Meski sempat tidak mendapat tempat atau dilirik keberadaanya, harga jual ikan chana kini mencapai angka jutaan rupiah per ekor. Bayi ikan chana berukuran 1 hingga 2 sentimeter laku terjual Rp50 ribu per ekor.
"Harga akan melambung tinggi saat sang ikan memasuki usia dewasa dan mulai memunculkan sifat agresif. Selaras dengan warna cerah yang ada di sepanjang kepala hingga ekornya," jelasnya.
Ketenaran ikan chana saat ini menjadi pengusik popularitas ikan cupang dan guppy yang sempat viral sejak awal pandemi.
(ADI)