SURABAYA : Bisnis prostitusi di lokalisasi Dolly Surabaya ternyata belum mati setelah ditutup 2014 silam. Para Penjaja Seks Komersial (PSK) dan muncikari masih beraktivitas meski dengan sembunyi-sembunyi. Fakta tentang kehidupan lokalisasi Dolly terbaru ini diulas Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (IKA Stikosa-AWS). Podcast dengan tema Lingkaran Kota Kita itu berjudul Dolly Belum Mati.
Podcast dipandu oleh Noor Arief Prasetyo penulis buku Surabaya Butuh Lokalisasi. Pria yang juga pengurus IKA Stikosa AWS itu berdialog secara eksklusif dengan narasumber berinisial LD (nama samaran). LD merupakan perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Dolly saat ini.
"Lokalisasi dan prostitusi di Dolly adalah ruh dan tubuh. Kini Dolly seperti hantu, bergerak tanpa wujud," kata Noor Arief membuka podcast.
Dari podcast tersebut, banyak informasi terkuak dari bisnis lendir terselubung di Dolly. Mulai dari cara menggaet tamu, kehidupan PSK dan muncikari, tarif, tempat kencan, razia, kondisi sosial Dolly, hingga faktor kesehatan para PSK.
BACA JUGA : PNS Sumenep Tewas Bersimbah Darah, Dibunuh?
Di awal wawancara, wartawan senior ini memancing pertanyaan pada LD tentang cerita kehidupan prostitusi di lokalisasi Dolly saat ini. LD menjelaskan jika saat ini aktivitas prostitusi secara nyata memang tidak ada. Tapi kebanyakan PSK yang pernah kerja di Dolly kost di bekas wisma yang jadi tempat prostitusi.
"Mereka (bekas PSK) dijadikan oleh muncikari untuk bekerja lagi. Tapi tentunya dengan persetujuan anaknya karena kebanyakan kan ngasih nomer telepon ke para muncikari. Kalau ada tamu saya siap dihubungi. Dan mereka stand by nya di kost masing-masing. Kalau ada tamu tinggal kasih fotonya saja, kalau sudah cocok langsung jadi," kata LD.
LD mengaku, tanpa adanya wisma seperti dulu, saat ini muncikari bekerja di jalan-jalan di wilayah Dolly dan di sepanjang Jalan Girilaya. "Kalau ada mas-mas atau bapak-bapak berdiri disitu, biasanya cari tamu," kata LD.
Ia mengaku, aktivitas prostitusi di Dolly hanya berlangsung malam hari. Dimulai pukul 19.00 WIB para muncikari sudah mulai mencari tamu. Untuk tarif jasa prostitusi, LD mengaku tidak tahu angka pastinya.
"Kalau tarif itu kita biasanya gak ngerti. Kadang minimal itu kita dapat bersih 150 (ribu). Tapi kadang kalau tamu luar kota ditarif 500, kita tetap dapatnya segitu, karena kita tidak tahu transaksi di luar," ujarnya.
Namun, dia mengaku jika tamu membayar di depan PSK saat usai kencan maka pembagian yang diterima bisa lebih besar. "Kalau tamu deal dan bayar 500 ribu, maka muncikari tidak bisa berbuat apa-apa. PSK dapat 250 dan muncikari 250. Kamar tetap jadi tanggungan muncikari dan 250 itu masih mereka bagi karena bisa dua atau tiga orang muncikari," katanya.
Untuk tempat atau lokasi kencan, LD mengaku ada tamu yang mengajak ke hotel atau di tempat milik tamu, bahkan di kamar yang disewakan di lokasi Dolly. Untuk pembayaran kamar sudah dilakukan oleh muncikari dari harga transaksi yang sudah disepakati dengan tamu. Untuk razia oleh aparat, kata LD, biasanya hanya dilakukan pada hari atau momen tertentu. Misalnya saat menjelang puasa Ramadhan, 17 Agustus, atau Idul Adha.
"Kalau hari-hari biasa, gak ada (razia)," ujarnya.
Terkait kondisi kesehatan para PSK, LD mengaku tidak ada kontrol dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya seperti saat Dolly masih belum ditutup.
"Kalau dulu ada (cek kesehatan oleh Dinkes). Kalau sekarang atas dasar kesadaran anaknya sendiri. Kalau mau sehat ya ke dokter sendiri, kalau gak ya sudah, gak ada yang nasihati. Kan kita gak ada bos," bebernya.
(ADI)