TULUNGAGUNG: Bulan suro dalam penanggalan Jawa oleh sebagian masyarakat dipercaya sebagai bulan baik untuk melakukan ritual pensucian diri maupun benda-benda pusaka (jamasan). Tidak terkecuali pusaka Tombak Kyai Upas, simbol awal berdirinya Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Seperti apa ritualnya?
Mengawali ritual penjamasan tombak pusaka Kyai Upas di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Tulungagung, Jawa Timur, iring-iringan reog gendang dan dayang menyerahkan air nowo tirto kepada pemangku amanah Kyai Upas untuk melaksanakan ritual jamasan.
Air nowo tirto diambil dari berbagai sumber dan tiga dari sembilan mata air yang diambil melambangkan wujud dari seekor naga. Yakni dari sumber panguripan berarti kepala, sumber puser berarti tubuh dan sumber buntut berarti ekor.
Usai seserahan, seorang penjamas pusaka membuka sarung pada ujung mata tombak, kemudian dijamasi menggunakan air kembang setaman dan jeruk nipis.
Prosesi penjamasan diakhiri dengan menutup sarung berwarna putih dan diikat dengan rangakaian bunga melati. Kemudian tombak Kyai Upas diusung kembali ketempat semula untuk disemayamkan.
"Jamasan pusaka tombak Kyai Ipas merupakan tradisi rutin yang dilakukan setiap tahun. Prosesi digelar setiap bulan suro setelah lewat tanggal 10 suro, " ujar juru Jamas Pusaka, Winarto.
Tombak Kyai Upas merupakan pusaka peninggalan leluhur Kabupaten Tulungagung. Selain sebagai pelestarian tradisi dan wisata budaya, jamasan pusaka ini merupakan wujud syukur masyarakat agar dihindarkan dari segala marabahaya termasuk wabah covid-19 segera hilang dari Tulungagung.
"Jamasan dilakukan secara rutin untuk pensucian pusaka bupati Tulungagung yang harus dibersihkan jiwa raganya sehingga bupati atau pemimpin lainnya dapat melaksanakan pemerintahan dengan baik. Selain itu juga sebagai tolak balak yang dapat memberikan kesejahteraan warga Tulungagung, " ucapnya.
(TOM)