Marak di Indonesia, Apa Itu Pemerasan Seksual atau Sekstorsi?

Ilustrasi Ilustrasi

JAKARTA:  Kasus sextortion (pemerasan seksual) di Indonesia menduduki peringkat  tertinggi di Asia. Sebanyak 18 persen warga Indonesia mengaku mengalami atau melihat sextortion. Biasanya kasus ini terjadi di layanan publik.

Namun, kebanyakan korban tidak berani melapor. Sehingga tidak ada satu pun laporan kasus sextortion di Ombudsman. Apa itu pemerasan Seksual atau sekstorsi?

Praktik pemerasan seksual atau sekstorsi merupakan kasus ketika seseorang menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapat keuntungan seksual. Bagi korban yang merasa dirinya mengalami kejadian tersebut, mereka dapat melaporkannya ke Komnas Perempuan dan Ombudsman.
 
Kasus sekstorsi ini dapat didefinisikan dalam berbagai bentuk. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mencontohkan, kasus dapat berupa ketika pejabat pemberi layanan publik memegang tangan korban yang membutuhkan layanan. Kemudian, korban tidak bisa mengatakan tidak karena bisa menghambat pelayanan publik yang mereka akses. 
 
"Kami juga mengamati beberapa kasus eksploitasi seksual di lembaga pendidikan. Seperti, guru memaksa murid melaksanakan layanan seksual kemudian diberi iming-iming nilai yang baik," ujar Andy, dalam program Primetalk Metro TV, Rabu, 25 Agustus 2021.

BACA: Pria Ngawi Bacok Selingkuhan Istri

Menurutnya, pelaku sekstorsi cenderung menyasar korban yang berada pada posisi rentan. Salah satu kasus lain yang pernah ia tangani adalah ketika pekerja seks komersial (PSK) melaporkan dirinya diminta memberi layanan seksual agar bisa keluar dari tahanan ketika diciduk saat razia.
 
"Ketika praktik sekstorsi ini dilakukan, itu sebetulnya masuk dalam klausul penyiksaan seksual. Namun, ini pun belum diatur dengan cukup ketat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) kita," imbuhnya.
 
Komnas Perempuan sangat mendorong agar isu pemerasan seksual ini dapat ditampung dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Meski begitu, untuk sementara ini pihaknya terus terbuka untuk menjadi jembatan korban dengan penegak hukum.
 
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menilai praktik sekstorsi termasuk tindakan korupsi. Oleh karena itu, Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik berjanji akan membantu menyampaikan penyelewengan tersebut ke penegak hukum meski belum ada undang undang yang tegas di Indonesia.
 
"Sayangnya, undang-undang kita mengelompokkan korupsi hanya sebagai kerugian negara. Sementara, kerugian imateriel atau kerugian personal belum menjadi objek kerugian dalam konteks korupsi," kata dia.
 
Ombudsman menjamin lembaganya bisa menjadi tempat korban menyampaikan pengaduan persoalan ketidakadilan pelayanan publik. Dalam kasus ini, pelayanan publik yang berkedok pemerasan seksual. 


(TOM)