Legenda Hidup Mbah Rasimun : Jadikan Kerajinan Payung Kain Sebagai Kamuflase Perjuangan Melawan Belanda

Mbah Rasimun menunjukkan beberapa koleksi payung lukis yang ia buat sebagai saksi sejerah perjuangannya melawan penjajah (Foto / Metro TV) Mbah Rasimun menunjukkan beberapa koleksi payung lukis yang ia buat sebagai saksi sejerah perjuangannya melawan penjajah (Foto / Metro TV)
MALANG : Biasanya seorang perajin menekuni dunianya karena alasan hobi atau ekonomi. Namun kondisi tersebut tidak berlaku bagi seorang Rasimun. Sejak usia muda, Rasimun menekuni pembuatan kerajinan payung kertas lukis tradisional sebagai salah satu cara berkamuflase berjuang melawan penjajah belanda, selain itu turut serta melestarikan budaya jawa dari masa ke masa.

Tahun ini, usia pria yang akrab dengan sebutan mbah Rasimun memasuki 96 tahun. Meski kerut wajah dan keriput sudah menghiasi fisiknya, namun tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap berkarya memproduksi payung lukis tradisional berbahan baku kayu – kertas dan kain.

Awal kisah, mbah Rasimun muda mulai tertarik memproduksi payung lukis tradisional ini saat sejumlah warga Sidoarjo mengungsi di kampungnya, di kawasan Lowokpadas – Kalisari, Kota Malang tahun 1945. Dari mereka lah, kerajinan ini dipelajari.

Dimasa perebutan kemerdekaan inilah, mbah Rasimun mendapatkan ide menjadikan kerajinan payung lukis tradisional tersebut sebagai kedok atau kamuflase dalam melawan penjajah Belanda dan Jepang.

"Di siang hari, saya dan teman sekampung memproduksi payung lukis dan pada malam harinya kami bergerilya keluar masuk markas Belanda mencuri peluru sebagai amunisi para pejuang saat itu," kata mbah Rasimun

Kondisi serupa, ia lakukan selama masa pergerakan partai komunis tahun 1948 dan pemberontakan PKI tahun 1965. Peran mbah Rasimun adalah menjadi intel atau sumber informasi bagi tentara Republik Indonesia tentang keberadaan para penganut paham komunis di daerahnya.

Namun, menjadi perajin payung lukis tradisional ini sempat ia tinggalkan dan memilih berprofesi sebagai seorang penarik becak. Karena alasan ekonomi tentunya.

Sebab, untuk 1 unit payung lukis baru dapat diselesaikan pengerjaanya selama satu bulan. Prosesnya, dimulai dari memotong kayu, membuat rangka, menempel kertas atau kain, hingga melukis. Semua proses dilakukan secara manual.

"Memang tidak dapat diproduksi secara massal menggunakan bantuan mesin atau teknologi karena akan mengurangi estetika dan nilai seninya," ujarnya.

Untuk harga payung lukis karya mbah Rasimun dipasaran cukup murah. Biasanya hanya laku terjual antara Rp35 ribu hingga 50 ribu per unit. Namun bagi mbah Rasimun, harga jual murah bukan penghalang baginya untuk terus berkarya dan mempertahankan kesenian daerah khususnya melalui kerajinan payung lukis ini.

Atas dedikasinya ini pula, sejumlah prestasi dan penghargaan ia dapatkan mulai dari pemerintah daerah hingga kesultanan Solo dan Jogjakarta.

Sayangnya, saat ini mbah rasimun mengaku sedih karena sangat susah mencari penerus dirinya sebagai perajin payung lukis tradisional. Menurut mbah Rasimun generasi milenial saat ini susah diajarkan seni dan budaya terlebih payung tradisional.

"Sebab disebut tidak memberikan keuntungan finansial. Saya khawatir seni kerajinan payung lukis tradisional ini bakal hilang bersama kepergian saya menghadap sang maha pencipta," katanya.  

Demi mencari individu penerus cita-citanya, mbah Rasimun kerap menggelar pelatihan bagi ibu rumah tangga dan anak muda secara gratis. Dalam waktu dekat mbah rasimun bakal mengikuti pemaran payung internasional di Solo. Hal itu dilakukan demi menunjukkan eksistensi dirinya dan mengenalkan seni dan budaya yang ia pertahankan selama ini kepada warga dunia.

 


(ADI)