Melimpahnya produk jamur tiram di wilayahnya dan masih sedikit yang mengolahnya, membuat Ajeng yang juga seorang vegan ini tertarik memproduksi rendang yang berbahan non daging. Ia memilih jamur tiram coklat sebagai bahan rendang karena memiliki tekstur yang mirip dengan daging. Makanan ini juga cocok bagi para vegan untuk menikmati masakan rendang tanpa daging.
Pembuatan rendang ini sangat mudah namun proses memasaknya membutuhkan waktu hingga 8 jam. Pertama, jamur tiram dipotong dan disuwir, kemudian direbus sekitar 5 menit dan ditiriskan hingga benar-benar mengering. Setelah itu jamur dimasak menggunakan resep tradisional di dalam sebuah wajan. Setelah semuanya tercampur, adonan diaduk dan dimasak hingga 8 jam sampai bumbu meresap sempurna.
“Kebanyakan rendang yang dijual menggunakan daging, baik sapi, ayam atau ikan. Karena saya sedang merambah ke vegan, jadi ingin membuat produk yang bisa dikonsumsi vegan. Selain itu harga jamur juga lebih murah dibandingkan daging,” kata Ajeng.
Sejak tiga bulan memproduksi, Ajeng telah menghabiskan 90 kilogram jamur tiram yang dibeli di petani seharga 25 ribu perkilogram. Rendang jamur buatannya dijual dalam kemasan 100 gram dengan 3 varian rasa, yaitu original, pedas dan super pedas. Harganya pun cukup terjangkau, yakni berkisar Rp 30ribu hingga Rp 35ribu rupiah. Produk ini bisa bertahan 2 minggu di suhu ruang dan bertahan 6 bulan jika disimpan dalam freezer.
Saat ini permintaan rendang jamur datang dari Jakarta,Sumatra, Kalimantan hingga Sorong Papua. Memanfaatkan media online, pemasaran jamur rendang ini juga menjangkau pasar manca negara seperti Cina, Makau, Kanada, Turki, Mesir, Hongkong dan Taiwan. Hasilnya pun menjanjikan. Dalam sebulan, omset usaha rendang jamur ini bisa mencapai Rp 11 juta.
Menurut Ajeng, di Indonesia baru ada dua produsen rendang jamur, yaitu dirinya dan produsen asal Tangerang. Ia bersyukur usahanya ini mampu menambah pendapatan di tengah sulitnya ekonomi akibat pandemi covid-19.
(ADI)