MALANG : Potongan kain limbah konveksi atau perca biasanya menjadi sampah. Namun ditangan sekelompok perempuan kreatif, lembaran kain ini disulap menjadi sebuah karya seni. Tak hanya mengembangkan keterampilan,karya komunitas Mapaquild ini sudah menjadi kegiatan yang menghasilkan lembaran rupiah.
Bangunan di kawasan Jalan Raya Langsep, Sukun, Kota Malang tak pernah sepi. Rumah ini menjadi salah satu pusat pemberdayaan perempuan Kota Malang dan sekitarnya. Dari sinilah, berbagai jenis kerajinan menghiasi pameran seni yang digelar di sejumlah kota di Indonesia.
Dari sejumlah karya yang dihasilkan, kerajinan kain perca menjadi salah satu yang paling laris manis. Kerajinan ini sendiri, sempat booming dan menjadi trend pada era 80-an. Namun akhirnya redup bahkan hilang dari pasaran.
“Namun belakangan kain perca muncul kembali dan menjadi primadona baru di kalangan anak muda dan ibu rumah tangga,” kata salah satu perajin kain perca, Maria Jasmine.
Jasmine mengatakan untuk sebuah kerajinan kain perca dibutuhkan waktu pengerjaan hingga 1 bulan lamanya. Tergantung ukuran,tingkat kerumitan dan teknik pengerjaan yang dipilih. Prosesnya dimulai dengan membuat pola yakni dengan menjahit helai demi helai kain perca.
“Setelah pola terbentuk tinggal memberikan sentuhan-sentuhan kekinian, mulai dari model dan hiasan lain,” terangnya.
Menurutnya, di pasar domestik kain perca berbentuk sebagai taplak meja, selimut hingga penutup tempat tidur. Harganya pun bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
“Harga kain perca akan melambung ketika si pembuat dengan jeli mampu memadukan motif serta warna,” ujarnya.
Pasar kerajinan kain perca di dalam negeri dan manca negara masih terbuka lebar. Tak jarang di setiap pameran yang mereka ikuti, kerajinan kain perca hasil karya ibu-ibu ini sudah dinanti calon pembeli atau kolektor.
(ADI)