SURABAYA: Kasus tawuran antar pemuda semakin menjadi-jadi diberbagai kota. Bahkan pada beberapa kelompok, tawuran yang mereka lakukan tersebut disiarkan langsung di media sosial. Fenomena apa ini?
Menurut Vera Itabiliana Handojo, seorang psikolog, remaja pada dasarnya para remaja mengetahui bahwa melakukan tawuran itu adalah hal yang buruk. Sebab kalau kena pukul sakit, kena lempar sakit, dan itu mereka tahu.
“Ada beberapa faktor yang terjadi di remaja itu sendiri yang menjelaskan kenapa mereka bisa melakukan perilaku yang berisiko seperti tawuran. Kalau kita lihat dari perkembangan otaknya, memang ada fungsi-fungsi berpikir yang memang masih dalam tahap perkembangan,” jelas Vera.
Vera menambahkan, pada remaja memang fungsi berpikirnya belum optimal. Sehingga dalam perilaku, keputusan, pemikiran, lebih didominasi oleh emosi mereka.
BACA: Marak Tawuran, Pesta Miras di Jambangan Dibubarkan
"Walaupun mereka tahu kalau tawuran itu tidak boleh. Tawuran itu berbahaya, nanti kalau kena pukul atau kena senjata tajam akan sakit,” ungkap Vera.
“Tapi begitu temennya bilang 'ah gitu aja ga berani' maka akan tersentil emosinya. Sehingga mereka akan ikut dengan ajakan temannya karena terpancing emosinya. Dan fungsi berpikirnya bahwa ini nanti akibatnya buruk, itu belum berfungsi optimal di otak mereka. Sehingga mudah terbakar emosi,” jelas Vera.
Selain itu penyebab remaja melakukan tawuran, menurut Vera adalah, karena remaja lebih mengutamakan reward. Lebih berpikir apa yang mereka dapatkan dari situ dibandingkan dengan risikonya.
"Jadi mereka merasa jika berhasil menang akan dapat pujian, keren, apalagi disiarkan di media sosial kan di kalangan mereka sendiri,” tuturnya.
“Hal lain adalah remaja ini kan bisa dibilang sedang mencari jati diri, sedang mencari eksistensi diri. Jadi mereka sedang mencari tempat mereka di lingkungan sosial mereka. Saya tuh anak apa sih, apakah saya anak basket, apakah saya anak mesjid, apakah saya anak yang pintar akademis, dan sebagainya,” kata Vera.
Remaja ini bisa dibilang sedang mencari kelompok-kelompok yang bisa menambah label untuk identitas mereka sendiri. Begitu mereka menemukan satu kelompok tertentu, di mana merasa nyaman dan bisa menerima mereka, maka nilai-nilai dari kelompok itu akan mereka ikuti.
“Kalau nilai dari kelompok ini berbau kekerasan, itu akan cenderung diikuti oleh remaja ini. Demi dia bisa menjadi bagian dari kelompok itu,” pungkas Vera.
(TOM)